Jalan Terbaru - Republik Indonesia terdiri dari sekitar 17 ribu pulau tumbuh dalam keberagaman. Suku, agama, ras, budaya dan juga bahasa. Mungkin susah mencari tandingannya di seluruh muka bumi ini dalam hal keberagaman.
Pluralisme itu, mungkin, adalah kekuatan sekaligus lem perekat republik ini dalam berbangsa. Lihatlah, rakyat Indonesia ada yang berkulit kuning, cokelat, bahkan yang hitam legam. Semua tumbuh bersama.
Memang harus diakui, dalam perjalanannya, Indonesia juga diwarnai kerusuhan antarkaum, antaragama, dan antar strata sosial ekonomi. Tapi itu tidak pula mampu meretakkan bangunan republik ini sebagai negara kesatuan. Bhineka Tunggal Ika.
28 Oktober 1928, pemuda Indonesia telah memaklumkan tekadnya yang bertajuk ‘sumpah pemuda’, yang salah satunya adalah kesepakatan untuk menggunakan satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Tapi itu bukan bermakna, rakyat Indonesia tidak boleh menggunakan bahasa lain. Di persada nusantara ini ada 742 bahasa daerah yang digunakan oleh penduduk tempatan. Orang Jawa bercakap menggunakan bahasa Jawa, orang Sunda bertutur dengan bahasa sunda, orang Padang berbincang dengan bahasa Minang.
240 juta penduduk dengan 742 bahasa. Hebat! Apakah selama ini ada diantara kita yang peduli pasal ini? Bahasa apa saja itu? Adakah diantara kita yang ‘care’ untuk mempelajari dan membuat dokumentasi masalah bahasa asli Indonesia ini? Para ahli bahasa mungkin paham pasal jumlah dan wilayah sebarannya. Tetapi apakah mereka sudah melakukan penelitian dan mendokumentasikannya secara ilmiah?
Dari 742 bahasa itu, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, hanya ada 13 bahasa yang pemakainya lebih dari 1 juta orang. Maknanya ada 729 bahasa yang hanya dipakai oleh penduduk tempatan yang jumlahnya kurang dari 1 juta. Malah 169 bahasa diantaranya hanya digunakan oleh kurang dari 500 orang, atau mungkin dalam bahasa sederhananya boleh dikatakan bahasa itu hanya dipakai oleh penduduk sekampung.
Bahasa-bahasa itu, tentu saja, terancam punah jika pemerintah dan kita semua tidak peduli. Bahkan ia bisa punah tanpa catatan sejarah jika tak ada dokumentasi akademiknya.
Bahasa yang terancam punah itu, menurut pakar Departemen Linguistik Universitas Indonesia, Multamia RMT Lauder, tersebar di wilayah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Papua. Bahasa ‘Lom’ di Sumatera, misalnya, hanya digunakan oleh sekitar 50 orang. Sementara bahasa ‘budong-budong’ di Sulawesi hanya dipakai sekitar 70 orang, bahasa ‘’dampal’ dipakai oleh 90 penduduk, ‘bahonsai’ oleh 200 orang, ‘baras’ oleh 250 orang.
Gawatnya lagi, ada bahasa yang hanya digunakan oleh 1 hingga 3 orang saja. Wah, saya sampai tak bisa membayangkan. Dalam hitungan hari atau bulan bahasa itu akan hilang dari sejarah. Bahasa ‘hukumina’ di Maluku, konon, hanya dipakai oleh 1 orang. Loh, jadi, bahasa ini dipakai berbincang dengan siapa?
Masih di Maluku, bahasa ‘kayeli’ menurut catatan hanya dipakai oleh 3 penduduk, sementara bahasa ‘kaela’ digunakan oleh 5 penduduk, ‘hoti’ oleh 10 penduduk, ’hulung’ oleh 10 orang. Setali tiga uang, alias sama saja kondisinya, di Papua, dulu Irian Jaya, bahasa ‘mapia’ juga hanya digunakan oleh 1 orang, sementara bahasa ‘tandia’ pleh 2 orang.
Tentu saja masih banyak lagi bahasa-bahasa lain yang keberadaannya tidak dikenali. Mungkin jumlah bahasa di negeri ini lebih dari sejuta. Siapa yang tahu? Apalagi menurut Multamia, banyak diantara bahasa-bahasa yang hanya digunakan oleh sedikit orang itu adalah bahasa yang tidak mempunyai tulisan.
Mencermati situasi ini, saya menjadi tergelitik untuk membuat dokumentasinya, tentu saja yang sesuai dengan bidang yang saya pahami, yaitu audio visual. Saya ingin mendokumentasikan bahasa-bahasa daerah itu dalam bentuk filem dokumenter. Mungkin sepotong-sepotong, kemana pun saya pergi saya akan mengumpulkan percakapan orang-orang tempatan menggunakan bahasa aslinya. Mungkin itu hanya akan menjadi koleksi pribadi, yang akan memenuhi video library saya, tapi saya percaya suatu saat nanti itu akan bermanfaat.
Kalau bukan kita yang peduli dan memulainya, siapa lagi yang kita harapkan?